Panggil Aku Nuryanti, Bukan Templek


Pagi itu hari pertama Kelas 6 masuk untuk mendapatkan pelajaran. Setelah mengabsen satu persatu, untuk mengawali pelajaran aku memberikan apersepsi, kebetulan waktu itu pelajarannya Bahasa Indonesia dengan tema kebersihan.

“Selamat pagi anak-anak” sapaku memulai pelajaran.

“Selamat pagi Pak” sahut mereka serempak.

“Anak-anak, siapa hari ini yang tidak mandi?” tanyaku kepada seluruh siswa.

“Templek Pak!” sahut siswa.

“Templek?” tanyaku dengan nada heran. Setahuku tidak ada siswa kelas 6 yang namanya Templek.

“ Templek itu siapa?” aku melanjutkan pertanyaanku.

“Dia Pak, Nuryanti” jawab salah satu siswa sambil menunjuk Nuryanti. Aku terkejut karena ternyata yang di maksud Templek itu adalah Nuryanti, salah satu siswa kelas 6. Nuryanti memang sering di panggil templek. Saya pun tidak tahu kenapa teman-temanya memanggil begitu. Nuryanti adalah salah satu siswa yang selalu menggelitik nuraniku.

Di usianya yang ke-17 dia masih duduk di kelas 6. Padahal teman-teman seusianya  sudah duduk di bangku SMA. Dia tidak bisa menulis dan membaca. Jangankan menulis kalimat, menulis namanya pun sering salah. Bila membaca tulisannya orang pasti tertawa. Karena hampir tak bisa dibedakan huruf dan angka. Kadang-kadang huruf konsonan berjajar hingga 3, kemudian disambung dengan angka. Itupun tak berbentuk Huruf  Jepang bahkan sandi rumput juga bukan. Bila ditanya apa maksud tulisannya ia hanya mengeluarkan senyuman tanpa ada rasa bersalah. Ketika ulangan semester atau ulangan harian, ketika menjawab pertanyaan dia hanya memindah pertanyaan diatasnya dengan cara ditulis ulang.

Jam di Hpku menunjukkan pukul 9.15 menit, waktunya istirahat tiba. Anak-anak langsung berhamburan keluar kelas untuk menanti kedatangan bakul sayur (maklum gak ada warung), tukang sayurlah satu-satunya yang jualan. Itupun keliling kampung. Ketika tukang sayur lewat, anak-anak tanpa ada aba-aba langsung mengerubungi sang penjual. Namun ada satu siswa yang tetap duduk diam tak bergeming bengong didepan kelas. Dia adalah Nuryanti. Dia tak ikut teman-temannya jajan memang karena dia tak punya uang untuk jajan.

“Loh Nur, kenapa kamu gak ikut beli jajan? Bentar lagi tukang sayurnya pergi lho?” tanyaku kepadanya.

“Gak punya sangu Pak!” jawabnya polos.

Memang dia anak orang yang tidak mampu. Tiap pagi dia hanya sarapan nasi tiwul dengan lauk sambel, bahkan tidak jarang dia hanya sarapan “Telo Bakar”. Tak hanya itu, seragam yang dipakai terlihat sangat lusuh dan penuh tulisan-tulisan alam dari getah pisang, sepatu yang menganga kakinya yang berjendela dan tak jelas warnanya. Itu adalah penampilan sehari-harinya. Lengkap sudah penderitaanya. Lalu apakah yang bisa aku banggakan darimu Nur?. Sekolah ini tak ubahnya sekadar tempat persinggahan baginya, saat pagi menjelang dia datang tanpa membawa apa-apa selain senyum dan tawa. Dan pulangnya pun tanpa membawa apa-apa. Sekolah ini sekedar tempat singgah untuk bertemu dengan teman-temanya. Tak ada bekal ilmu yang bisa dibawa. Karena hampir 12 tahun sekolah disini dia tak bisa membaca dan menulis.

Namun ditengah gundahku, aku menemukan jawaban atas pertanyaanku. Ada satu hal yang membuatku menemukan jawaban tersebut. Beberapa hari lalu aku berbincang-bincang dengan dia.

“Nur, dirumah kamu belajar apa tidak?” aku mulai bertanya.

“He he”dia hanya mengeluarka senyum khasnya.

“Saya mau belajar dirumah tidak ada yang ngajarin lo Pak” dia mulai bercerita.

“Mbahku juga tidak bisa baca tulis. Bapak Ibu saya pindah rumah” tambahnya.

“Belajar sendiri tanpa ada yang menemani kan bisa?” sanggahku.

“Gak punya waktu Pak” jawabnya.

“Lo, kenapa? Kan pulang sekolah sampai sore bisa dimanfaatin untuk belajar” jawabku.

“Sepulang sekolah saya langsung pergi mencari pakan ternak Pak, terkadang sampai sore, saya itu kasihan sama mbahku, dia sudah tua, saya tidak tega melihat mbahku harus mencari pakan ternak. Makanya sepulang sekolah saya harus mencari pakan ternak”, paparnya.

Memang benar, pernah suatu ketika pada saat aku mau berangkat ke sekolah bertemu denggannya di tengah hutan. Dia tidak memakai seragam sekolah namun memakai seragam orang mencari rumput dengan berselempangkan jarik dan menenteng sabit ditangannya. Ketika aku bertanya kenapa tidak sekolah, katanya dia ditinggal semdirian dirumah. Jika dia tidak mengari rumput hewan ternaknya tidak makan apa-apa.

Hatiku menangis, tanpa sengaja aku melukai hatinya. Ternyata dibalik keluguannya trersimpan ketulusan yang belum tentu dimiliki orang lain. Bagiku ketulusan adalah sesuatu hal yang sangat mahal di jaman seperti ini, karena hampir sulit dibedakan antara tindakan dan hati. Tutur kata yang lembut, senyum indah yang tersungging belum tentu sama dengan hatinya. Pertolongan dan pengorbanan yang diberikan terkadang karena butuh pujian. Disaat orang-orang bersandiwara di balik topengnya, kutemukan ketulusan dan kepolosan dari dia.

Aku bangga padamu, Nak! Kamu memang tidak seperti teman-temanmu yang bisa menikmati masa kanak-kanakmu denag sejuta kasih sayang dari orang tuanya. Tidak punya baju dan sepatu bagus, tak punya uang jajan, tapi kamu punya sebuah ketulusan dan pengorbanan yang luar biasa yang tak di miliki oleh orang lain. Aku yakin suatu saat kamu akan menjadi Nuryanti yang bisa memberi cahaya terang dikeluargamu, bukan lagi “Templek” yang slalu menempel pada siapapun, dan menjadi beban orang lain.

2 thoughts on “Panggil Aku Nuryanti, Bukan Templek

Leave a comment