Hariku Bersamamu


Terhenyak sejenak aku dari lelapku. Sudah bergeser malam menjelang fajar.  Sementara di luar angin dan hujan berderu berlomba berdendang memekakan telinga. Kilat dan petir seakan berharmoni membentuk lampu dan musik bak di diskotik. Desiran angin dan percikan air hujan yang jatuh menetes dari sela-sela genteng yang bocor terus memeluk tubuhku yang kedinginan. Pelan namun pasti kusingkapkan selimut alam yang menemaniku semalaman. Aku berjuang menguatkan diri melawan kantuk yang menyerang. Kurenggangkan otot-ototku biar tidak kaku. Dengan mata yang masih sulit untuk dibuka  kulangkahkan kakiku dengan tertatih dan kutarik sandal jepitku yang sudah menunggu di balik pintu. Kuraih handuk hijau muda didekat pintu dan ku selempangkan dipundakku, berniat untuk segera menuju kamar mandi. Namun hujan di luar yang terus turun tanpa henti, menghentikan langkahku keluar menuju kamar mandi. Akhirnya kuputuskan untuk sedikit menghangatkan tubuhku dengan secangkir wedang jahe. Kuteguk perlahan hingga menyisakan setengah cangkir.

Suara gemericik air hujan di luar masih saja membuat aku malas untuk memaksakan kakiku melangkah keluar rumah. Kubentangkan handuk kusut yang ada dileherku hingga menutupi sebagian tubuhku. Kulangkahkan kakiku menuju ruang tamu sambil membawa sisa wedang jahe yang tinggal setengah cangkir. Kusibak tirai penutup jendela ruang tamu, kuusap kaca yang tertutup embun dengan tanganku. Dari balik kaca jendela, di luar sana terlihat gunung Bayangkaki yang berselimutkan kabut di puncak-puncaknya.  Seakan enggan bangun dan menampakkan wajah cantiknya. Pohon-pohon berdendang seiring lantunan nyaring air yang jatuh didaun dan bergoyang seiring sentuhan angin yang menawan. Kutilang terbang melintas mencari tempat berteduh untuk menikmati sentuhan alam. Anak-anak ayam berlari-lari kecil dan menangis mencari induknya, di teras sang induk sudah menunggu dengan kasih sayangnya, dipeluknya erat-erat semua anak-anaknya sehingga mendapatkan kehangatan.

” Thing……thing…..thing…..thing…..thing….thing……thing…”. Tiba aku dikagetkan oleh suara jam dinding yang berbunyi tujuh kali, ini menunjukkan sudah jam tujuh. Aku segera terbangun dari keterlenaanku, sesegera kuraih cangkir disampingku, kuteguk dan kuhabiskan isinya. Aku tersadar jika hari ini adalah hari pertama masuk setelah beberapa hari libur lebaran. Hari ini semua guru harus masuk karena akan halal bi halal dengan siswa-siswa,  ini sesuai dengan pesan yang disampaikan Kepala Sekolah beberapa hari yang lalu. ” Bapak dan Ibu Guru semua, besok hari Senin harus masuk karena akan halal bi halal dengan siswa-siswa” begitu pesan sms dari Kepala sekolah.  Segera kupaksakan kakiku berlari ke kamar mandi.

15 menit kemudian akhirnya aku sudah keluar dari kamar mandi, kulangkahkan kakiku menuju kamar keramatku. Ku pandangi baju berjajar yang menggantung merana di dinding kamarku, kupilih satu yang tepat tuk menemani hariku. Kuputuskan memilih satu pakaian seragam warna krem yang akan kupakai hari ini. Bak peragawan, ku beranjak menuju depan cermin, kulihat diriku dengan seragam khas itu. “Ah….. ini masih mimpi, semoga cepat jadi kenyataan”. Tak berapa lama terdengar suara deru motor semakin mendekat kerumahku, dan akhirnya berhenti di teras rumah. “thit..thit…” terdengar klakson berbunyi. ” Ayo budhal……” terdengar suara nyaring  mengiringi bunyi klakson dari depan rumah. Kubuka tiarai yang menutupi jendela dan kulihat ternyata didepan aku sudah ditunggu seseorang yang masih mengenakan jas hujan bak superman. Ternyata dia adalah temanku. “Oke, Tunggu sebentar”, Jawabku.  Segera kuraih sepatu pantofel hitam yang ada diteras, kubersihkan ala kadarnya dengan kain dan langsung kupakai. “Aku dah siap Bos..”.  Motor yang penuh bercak lumpur yang terparkir diteras segera diputar berbalik arah, dan kamipun mulai berangkat menuju sekolah. Rintik hujan mengiringi laju kami menelusuri jalan licin dan terjal menuju sekolah. Pelan putaran roda menapaki setiap batu-batu licin ditanjakan. Jerit dan tangis kelelahan mendayu dari knalpot memberikan isyarat ketidaksanggupannya menapaki jalan itu tiap hari. Air mengalir dari dari atas bukit menuju jalan menambah sulitnya medan yang harus ditempuh. Tanjakan – tanjakan tajam dengan lumpur yang terbawa arus air sudah menanti setia di depan kami. Mau tak mau kami harus menyapa dan bercengkerama dengannya. Terkadang kami pun harus rela mendorong motor kami yang tak sanggup mendaki. Desiran angin hutan menyentuh halus dari balik kain penutup tubuh, membuat badan serasa beku menjadi segumpal es. Kabut putih bercengkrama dengan rintik hujan menyelimuti jalanan. ditengah rimba pinus, menyulitkan kami tuk membangunkannya dan menyibakkan selimutnya agar kami bisa mendaki dengan tenang. Tetes-tetes butir air menyawa menulusuri tiap lekuk wajah kami. Sedikit demi sedikit jalanan itu akhirnya bisa kami taklukkan. Udara puncak bukit mulai terasa, sejenak kami menghirup sejuknya udara itu sambil melemaskan otot yang tegang setelah pendakian. setelah beberapa saat istirahat, perjalanan pun kami lanjutkan.

Lima menit kemudian, aroma khas sekolah mulai tercium. Terdengar suara-suara khas dari kejauhan bersahut-sahutan, menandakan semakin dekat kami dengan tujuan. Akhirnya wajah sekolah mulai kelihatan dari tikungan. Sorak sorai menyeruak menyambut kedatangan kami. Wajah-wajah polos dengan raut bahagia terpancar jelas didepan kami. Tangan-tangan mungil nan halus satu persatu mulai menjabat tangan kami. Capek dan lelah selama perjalanan terbayar dan hilang sudah ketika bisa melihat mereka tertawa bahagia. MINAL AIDIN WAL FA IZIN, terucap dari bibir-bibir mungil mereka. Tak terasa lima tahun sudah kita bersama, berbagi dan belajar untuk menjadi lebih bermakna. Banyak khilaf  dan dosa yang tercipta,  sengaja atau tak sengaja. Anak-anakku, maafkan semua salahku. Bentakan dan ocehan serta marah yang keluar, bukan karena kami benci padamu, namun itu wujud sayangku pada kalian, agar kalian tidak mengulang kesalahan yang sama. Aku sayang kalian.

Leave a comment