Sang Pengarit


 

Bias-bias temaram mentari mulai merayap menapaki pagi, menghias cakrawala mengukir pelangi. Embun pagi bersemayam dalam dekapan selimut kabut, membuat setiap orang malas beranjak dari tempat tidur. Senandung riang kutilang membahana seiring alunan melodi amfibi. Kokok ayam menjadi alarm khas pagi ini, membangunkan setiap jiwa yang terkontaminasi  rayuan pagi. Kuawali hari ini dengan membuka mata lelahku, kuregangkan ototku tuk hilangkan penat tubuhku.

Aku tersadar jika hari  ini  aku harus segera ke sekolah. Seperti hari-hari biasanya hari ini ku melaksanakan rutinitas berkutat dan berbagi ilmu dengan anak-anak. Kutelusuri batu-batu terjal yang menghadang dengan penuh semangat. Kegiatan di sekolah pun berjalan lancar seperti hari-hari sebelumnya. Namun hari ini ada seoarang murid yang pantas kujadikan guru, bukan guru pelajaran namun guru kehidupan. Dari dia aku bisa mengerti sebuah perjuangan hidup, dari dia aku bisa dapatkan sebuah pelajaran yang tak kudapat dari sekolah formal. Banyak kisah yang bisa kuambil dari hidup muridku. Dan kisah kali ini adalah SANG PENGARIT.

Namanya Mukadi, dia salah seorang muridku yang sudah duduk di kelas 6. Anaknya tak mempunyai kelebihan yang berarti dalam matapelajaran, mungkin hampir sama dengan siswa yang lain. Nilai akademiknyapun standart ma teman-temannya. Setiap pagi dia dating ke sekolah bersama teman-temannya. Dengan baju putih yang sudah kusut dan menggendong tas yang sudah banyak jendelanya dia ke sekolah layaknya murid – murid yang lain. Namun ada satu yang membedakan dia dengan teman-temannya. Jika dalam tas teman – temannya berisi peralatan sekolah, dalam tasnya tersembul gagang sabit yang terkihat dari lubang tasnya. Awalnya saya tidak tau kalau itu ternyata gagang (pegangan) sabit. Saya berpikir itu hanya mainan anak-anak yang biasa dibuat mainan ketika istirahat.

Waktu istirahatpun telah tiba, semua siswa langsung berhamburan keluar kelas dan melakukan aktifitasnya sendiri-sendiri. Ketika waktu istirahat tiba yang dilakukan siswa SDN $ Ngadirojo adalah menunggu tukang sayur keliling, karena tukang sayurlah satu-satunya penjual jajan yang ada di sekolah. Setelah jajan mereka langsung bermain bersama teman-temannya. Ketika istirahat tiba aku sering membaur bersama mereka, agar tercipta keakraban antara siswa dan guru. Sambil membaur kugunakan kesempatan itu untuk mengamati kepribadian murid-muridku. Namun ada satu siswa yang tak ikut dan tidak kelihatan bermain bersama teman-temannya. Dialah Mukadi. Aku mulai sadar jika mukadi tidak ikut bermain bersama teman-temannya, akupun berusaha untuk mencari dan melihat aktifitas yang dilakukannya. Setelah berkeliling disekitar sekolah aku terkejut karena dia sedang mencari rumput di lading sekolahnya. Setelah berkeliling disekitar sekolah aku terkejut karena dia sedang mencari rumput di ladang sekolah. Kudekati dia dan kuajak berbincang-bincang. Awalnya dia malu ketahuan sedang mencari rumput, sambil mencari rumput aku mulai bertanya. dia mulai bercerita jika waktu istirahat tiba sering mencari rumput. Sebelum berangkat dia mempersiapkan baju ganti dan mengasah sabitnya. Ketika istirahat tiba dia langsung ganti baju dan langsung mencari rumput di sekitar sekolah. “Lho kenapa teman-temannya bermain semua kamu koq malah mencari rumput?” aku mulai bertanyata setelah dia memulai bercerita. Dengan bahasa yang campur aduk dia pun menjawab dengan polos “ Aku sehabis sekolah itu biasanya lansung diajak mbokku ke tegal, disuruh bantuin menanam jagung dan oncek telo. Kalau siang tidak sempat lagi nyari pakan, makanya kalau istirahat tiba saya gunakan untuk mencari pakan ternak” jawabnya. “Kamu kan masih pelajar, seharusnya kamu itu tugasnya Cuma belajar” kataku. “orang tua saya orang yang tidak mampu pak, mau makan tiap hari saja susah. Saya merasa berdosa jika tidak ikut bantu orang tuaku, mereka tiap hari bersusah payah mencari sesuap nasi demi keluarga masa aku enak-enakan dirumah”. Jawabannya menusuk dan membuka hatiku, selama ini aku selalu mau enaknya saja. Terkadang jika disuruh orangtuaku sering membantah, beda jauh dengan dia, walau tidak disuruh dengan sadar mau membantu orang tuanya. “ Saya mempunyai adik yang masih kecil Pak, jika saya bermalas-malasan kasihan adik saya, sedangkan bapak saya tidak ada” tambahnya. Aku disadarkan olehnya, ternyata hidup itu perlu perjuangan. Anak kecilpun sudah mau berjuang untuk orang lain. Tetaplah berbakti, Nak! Jadilah kebanggaan orang tuamu dan orang lain. Jangan minder, Nak! Walau kamu Sang Pengarit tapi jiwamu jiwa Sang Pemimpi yang kelak akan menjadi Sang Pelopor bagi kaummu. Aminnn. Doaku selalu menyertaimu

7 thoughts on “Sang Pengarit

  1. itulah kehidupan yang sebenarnya,,,, di balik kebahagiaan akan ada tangis,, dan di balik tangis akan ada seberkas senyum…
    keberhasilan bukan hanya milik mereka yang pandai, yang beruang dan bertenaga,,, tapi juga bagi mereka yang berjiwa besar.
    cerita ini menyadarkan kita akan baiknya pengalaman hidup. saya yakin km akan jadi anak sukses mukadi. kakak bangga sama km… kakak belum tentu sepandai km.
    pandai bukan hanya otak, tapi kepandaian hati dan kerelaanmu itu yang tidak kakak punya selama ini.

Leave a comment